Minggu, 26 Desember 2010

PENDEKATAN MUTAKHIR PENGAJARAN BAHASA

1. SUGGESTOPEDIA
a. Sejarah Perkembangan
Metode ini dirintis pada musim panas tahun 1975 di Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian Pedagogy di bawah Georgi Lozanow melakukan penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Pada awal perkembangannya, suggestopedia hanya dicoba di negara-negara Eropa Timur seperti Uni Soviet, Jerman Timur, dan Hongaria (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:62).
Sebagai seorang dokter, psikoterapis, dan ahli fisika, Lozanov percaya bahwa teknik-teknik releksasi (persantaian) dan konsentrasi akan menolong para pembelajar membuka sumber-sumber bawah sadar mereka dan memperoleh serta menguasai jumlah kosa kata yang lebih banyak dan juga struktur-struktur yang lebih mantap daripada yang mungkin pernah mereka pikirkan (Richards dan Rodgers, 1993:142-143). Menurut Lozanow, sebagai landasan yang paling dasar suggestopedia adalah suggestology, yakni suatu konsep yang menyuguhkan suatu pandangan bahwa manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan memberikannya sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:63).
b. Karakteristik
Ciri-ciri metode ini mencakup suasana sugestif di tempat penerapannya, dengan cahaya yang lemah lembut, musik yang sayup-sayup, dekorasi ruangan yang ceria, tempat duduk yang menyenangkan, dan teknik-teknik dramatik yang dipergunakan oleh guru dalam penyajian bahan pembelajaran. Semua itu secara total bertujuan membuat para pembelajar santai, yang memungkinkan mereka membuka hati untuk belajar bahasa dalam suatu model yang tidak menekan atau membebani para siswa. (Richards dan Rodgers, 1993:142).
Dalam pengajaran bahasa, suasana tenang yang dibutuhkan dicapai dengan berbagai cara, salah satu di antarnya adalah yoga. Pada saat sebelum siswa mulai pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya adalah untuk menghimpun kemampuan yang hipermnestik, yaitu suatu kemampuan supermemory yang luar biasa. Di samping perlunya menggali hipermnesia ini, diperlukan pula atmosfer fisik yang mendukung proses belajar mengajar. Atmosfer ini diciptakan dengan pemilihan ruangan yang kondusif untuk proses pembelajaran. Seperti yang telah disinggung di depan, ruang kelas ini dilengkapi dengan kursi yang enak diduduki dan diatur agar bisa santai dan diterangi dengan lampu-lampu yang redup serta diiringi dengan latar belakng musik yang sesuai dengan jiwa bahan pembelajaran yang diberikan.
Suggestopedia tidak percaya pada penggunaan laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada latihan-latihan struktural yang ketat. Latihan dalam bentuk tubian yang mekanistik dipandang tidak akan mendatangkan hasil yang baik. Sebaliknya, suggestopedia menekankan pada penyerapan mental dari bahan pembelajaran yang diterima untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas.
Pada umumnya, bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang. Dialog dalam suggestopedia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan pada kosa kata dan isi, (2) dasar pembuatan dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang riil, (3) harus secara emosional relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetis untuk lafalnya (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64).
c. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Teknik pelaksanaan pengajaran bahasa dengan suggestopedia sangat unik. Untuk kelas yang intensif, pembelajar bertemu selama empat jam sehari, enam kali seminggu, untuk jangka waktu satu bulan. Dengan demikian, satu paket pelajaran terdiri atas 96 jam tatap muka. Untuk menjaga atmosfer kelas agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan, maka jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik jika terdiri atas 6 pria dan 6 wanita.
Menurut Richards dan Rodgers (1993:150-151; baca juga Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64-65; Henry Guntur Tarigan, 1988: 262-263), kegiatan pengajaran bahasa dengan suggestopedia terdiri atas tiga bagian, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pertama, diadakan tinjauan kembali atau mengulang bahan pelajaran sebelumnya. Ini dilakukan dalam bentuk percakapan, permainan, sketsa, cerita lucu, dan akting. Bila siswa membuat kesalahan, ia dibetulkan tetapi dengan nada yang mendorong ke arah positif. Pada bagian ini, praktik yang mekanistik harus dihindari.
b. Kedua, bahan baru disajikan dalam konteks melalui dialog-dialog panjang dan caranya tidak jauh berbeda dengan cara yang tradisional: bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan keterangan kata-kata baru dan tata bahasa. Dialog yang dipergunakan sebagai bahan pelajaran harus relevan, riil, menarik, dan dipergunakan sesuai dengan isinya.
c. Ketiga adalah bagian yang disebut séance. Séance adalah pertemuan perkuliahan yang tujuannya ialah untuk reinforcement bahan baru pada taraf bawah sadar. Pada tatap muka ini siswa duduk-duduk dan menyantaikan diri mereka dengan postur duduk yang dinamakan Savasana. Kegiatan séance terdiri dari dua macam, yang aktif dan yang pasif, dan kegiatan ini berlangsung selama satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap pernapasan dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk menarik napas, 4 detik kemudian untuk tahan napas, dan 2 detik terakhir untuk istirahat. Proses ini diulang-ulang selama sekitar 25 menit. Pada dua detik tarikan napas, guru menyajikan bahan dalam bentuk bahasa pertama untuk memberikan siswa kesempatan mengerti apa yang akan disajikan dalam bahasa kedua. Pada detik ketiga sampai keenam, siswa menahan napas dan guru menyajikan bahan dalam bahasa kedua. Pada saat ini siswa boleh melihat buku teks dan mengulang secara mental bahan yang sedang disajikan. Pengulangan mental yang merupakan bagian dari inner speech ini oleh para ahli ilmu jiwa Eropa Timur dianggap sangat bermanfaat untuk mmengembangkan hypermnesia. Pada dua detik terakhir dari siklus pertama ini siswa melakukan istirahat pernapasan untuk selanjutnya mengulangi siklus kedua, ketiga, dan sebagainya. Bagian yang pasif dari séance selanjutnya, yang sering juga disebut bagian konser, berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada bagian ini siswa mendengarkan suatu macam musik gaya baroque, yakni bentuk musik yang berasal dari abad ke-17 yang penuh dengan ornamentasi dan improvisasi, efek-efek yang kontrastif seperti tercermin pada karya Bach dan Handel. Para siswa menutup mata dan memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser ini berakhir dengan bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tergugahlah para siswa dari meditasi mereka masing-masing.
Apabila prosedur tersebut dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang kondusif, metode suggestopedia akan dapat memberikan hasil yang luar biasa. Dalam hal retensi kosa kata untuk bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia, rata-rata retensinya mencapai 93,16%. Bahkan setelah diselingi waktu sampai hampir tiga tahun pun retensi kosa kata masih sempurna.
Para penganut Lozanov menghasilkan angka yang berbeda-beda. Dalam percobaannya dengan kata-kata bahasa Spanyol, Bordon dan Schuster menyatakan suggestopedia memberikan hasil 2,5 kali lebih baik daripada metode yang lain. Guru-guru di Iowa sedikit lebih baik, yakni mereka memerlukan hanya sepertiga dari waktu yang diperlukan oleh metode lain. Klaim tertinggi dinyatakan oleh Ostrander dan Schruder yang menyatakan bahywa suggestopedia bisa menghasilkan sampai 50 kali lebih baik daripada metode lain (Bancroft dalam Soenjono Dardjowidjojo, 1996:66).
Di samping keberhasilan seperti yang diuraikan di atas, suggestopedia juga memiliki beberapa kelemahan. Omaggio (1986:85) menyatakan bahwa kelemahan metode ini terletak pada bahan masukan secara pedagogis dipersiapkan terlalu eksklusif dan aspek pemahaman membaca dan menyimak terlalu terbatas. Selain itu, Steinberg (1986:193) mengemukakan bahwa suggestopedia hanya cocok untuk kelas-kelas yang kecil dan belum ada ketentuan dan persiapan bagi tingkat-tingkat menengah dan lanjutan.
Soenjono Dardjowidjojo (1996:66) memberikan kritik yang realistis terhadap penerapan suggestopedia. Menurutnya, apabila metode ini diterapkan di Indonesia maka akan terjadi pertentangan antara prinsip dasar suggestopedia dengan realitas yang dihadapi para guru di sekolah. Sebagai guru bahasa di sekolah, mereka harus mengikuti suatu sistem kurikulum yang berlaku, dan sudah barang tentu sekolah tidak mungkin menyediakan ruang yang besar untuk gerakan fisik siswa atau pun ruangan yang nyaman dengan musik klasik, dekorasi ruang yang cerah, dan persyaratan penciptaan kondisi suggestopedia lainnya.
d. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
• Menguasai jumlah kosa kata yang lebih banyak dan juga struktur-struktur yang lebih mantap.
• Para pembelajar cenderung santai, yang memungkinkan mereka membuka hati untuk belajar bahasa dalam suatu model yang tidak menekan atau membebani para siswa.
2. Kekurangan
• Suggestopedia tidak percaya pada penggunaan laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada latihan-latihan struktural yang ketat.
• Bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang.
2. COMMUNITY LANGUAGE LEARNING (CLL)
a. Sejarah Perkembangan
Community language learning (CLL) tumbuh dari suatu ide untuk menrapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Dalam eksperimen yang dimulai tahun 1957, Charles A. Curran menerapkan konsep psikoterapi dalam bentuk konseling. Metode CLL dikembangkan oleh Charles A. Curran, profesor psikologi di Universitas Loyola. Metode ini mengacu kepada dua peran: bahwa dari maha mengetahui (guru) dan siswa (pelajar). Juga metode menarik pada metafora konseling dan mengacu pada peran-peran masing-masing sebagai seorang konselor dan klien. Menurut Curran, konselor membantu klien memahami masalah sendiri lebih baik dengan 'menangkap esensi dari kepedulian klien terkait mempengaruhi kognisi berlaku, pemahaman klien dan menanggapi secara terpisah namun perhatian. Untuk menyajikan kembali, blends konselor apa klien merasa dan apa yang dia belajar untuk membuat pengalaman yang bermakna. Seringkali, peran ini mendukung membutuhkan pengeluaran energi yang lebih besar daripada rata-rata 'guru yang'.
Tugas pelajar bahasa asing, menurut CLL adalah untuk menangkap sound system bahasa arti dasar untuk menetapkan unit leksikal individu dan membangun tata bahasa dasar. Dalam tiga langkah, yang menyerupai CLL pendekatan alam untuk mengajar bahasa di mana seorang pelajar tidak diharapkan untuk berbicara sampai ia telah mencapai beberapa tingkat dasar pemahaman.
b. Karakteristik
Pendekatan jenis ini agak berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya. Community language learning lebih ditujukan untuk menghilangkan kecemasan atau ketakutan (anxiety) peserta didik saat mempelajari bahasa kedua. Konsekuensinya, pendekatan tersebut lebih menekankan ke arah bimbingan konseling daripada pengajaran biasa. Oleh karena itu, guru lebih berposisi sebagai pembimbing yang melatih peserta didiknya. Peserta didiknya pun dipandang sebagai klien, sehingga hubungan antara guru dan peserta didik adalah ibarat pembimbing dan klien.
Pembelajaran berdasarkan atas kesulitan peserta didik. Tujuan dari pembelajaran sendiri adalah untuk membangun hubungan komunikasi dan menghilangkan ketakutan dalam peserta didik saat ia mempelajari bahasa kedua. Terdapat lima tahapan yang dilalui oleh peserta didik menggunakan pendekatan ini. Pertama, peserta didik (klien) masih menggunakan bahasa pertamanya untuk menyampaikan harapan dan keinginannya. Kedua, klien mulai berani menggunakan bahasa keduanya di dalam kelas. Ketiga, klien berani mengungkapkan berbagai hal dengan bahasa keduanya, dan menganggap semua orang di dalam kelas memahami ungkapan tersebut. Keempat, klien bebas menyampaikan ungkapan dengan bahasa kedua dan terjadi hubungan komunikasi dengan peserta didik lain. Kelima, klien dapat menjadi pembimbing untuk membimbing bahasa kedua kepada klien baru lainnya.
c. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
1. Prinsip Dasar CCL
Karena latar belakang pendidikan formal Curren adalah psikoterapi, dia mempararelkan konsep pengajaran bahasa sebagai personal antara seorang ahli ilmu iwa de ngan seorang pasien. Hal ini tercermin dari istilah yang dipakai “client” sebutan untuk para counselor (mahasiswa/guru). Anggapan ini didasrkan bahwa pada saat seorang terjun dalam dunia atau arena yang batru seperti proses belajar-mengajar bahasa dia dikodratidengan berbagai cirri anusia sebagaimana manusia pada umumnya. Dalam lingkungan yang balru dimana dia merasa asing, dia di hinggapi oleh rasa taka man (insecurity), rasa keterancaman (threat), rasa ketidakmenentuan (anxiety), konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi dia untuk maju. Landasan dasar dalam CCL, berbeda jauh dari konsep diatas, tugas utama seorang konselor adalah untukmenghilangkan, atau paling tidak mengurang segala persaan negative para klientnya. Seorang konselor dituntut untuk memiliki s,ikap yang fasilitatif, baik dalam menularka pengetahuannya dan para klien maju dalam satu tahap demi tahap.
Dalam kaitannya dengan dengan keadaan psikologi para siswa. Curran mengajukan enam konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan “learning”. Enam konsep ini dicakup dalam satu singkatan yaitu, SARD:
- Security (rasa aman)
- Attention- aggression (perhatian –peran aktif siswa)
- Retention-reflection, dan (refleksi/intropeksi atau tes)
- Discrimination (penjelasan)
2. Tahap Penguasaan
Tahap penguasaan dibagi menjadi lima bagian :
1. Embryonic stage (madasen di celce-murcia & Mcintosh, 1978:35), adalah tahap dimana ketergantungan siswa pada gurunya adalah 100 atau mendekati 100%. Pada tahap ini rasa ketidak menetuan siswa menghalang-halangi dia untuk memakai bahasa asing terutama di depan gurunya dan orang-orang lain yang dia tidak kenal. Tugas guru adalah untuk menghilangkan atau menguarangi perasaaan seperti ini dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang layak. Siswa diminta supaya aktifitas yang menjadi minat mereka untuk menyebutkannya dan melakukannya. Kemudian diminta untuk merefleksikan.
2. Self-Assertion Stage, tahap dimana siswa telah mendapat dukungan moral dari rekan senasibnya taupun dari guru mereka. Dan mereka telah mencoba untuk menemukan jati diri mereka sebagai penutur bahasa asing. Pada tahap ini tentu saja bahasa yang mereka gunakan barulah dalam bentuk yang sangat sederhana yang oleh slingker disebut interlanguage, serta ungkapan-ungkpan yang mereka gunakan masih dalam bntuk elementary.
3. Birth Stage, siswa secara bertahap mulai mengurangi pemakaina bahasa ibunya. Dia mulai terbiasa memkai bahasa kedua. Pada tahap ini guru atau konselor harus bertindak bijaksana dan memperhatika segala aspek yang timbul pada tahap ini, dan harus mampu mengatasi lproblem yang dihadapi oleh siswa dengan pendekatan psikologi.
4. Pada tahap ini, siswa tidak lagi banyak diam pada waktu proses embelajaran berlangsung, mereka sudah harus aktif berbicara.
5. Pada tahap terkahir adalah “independent Stage”, tahap dimana siswa telah menguasai semua bahan yang akan dibahas, dan siswa sudah bisa memperluas bahasanya dan memelajalri ula aspek-aspek social dan budaya ada penutur asli.
d. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
• Metode ini bisa mengatasi beberapa factor afektif yang bersifat mengancam dalam pengajaran bahasa ke-dua (L2)
• Metode ini boleh jadi merupakan sebuah metode yang sangat berguna jika: Guru mencoba menghindari tahap ketergantungan penuh sejak permulaan; Atau menyediakan lebih banyak petunjuk (directiveness) daripada advokasi CLL.
2. Kekurangan
• Penasihat-guru bisa menjadi sangat menggurui (directive)
• Metode ini bergantung pada strategi pembelajaran induktif
• Keberhasilan CLL sangat tergantung pada keahlian menerjemah seorang penasehat (konselor)
3. SILENT WAY
a. Sejarah Perkembangan
Metode Diam, yang dikembangkan tahun 1960-an oleh Caleb Gattengno, dilandasi dengan keyakinan bahwa siswa hendaknya belajar secara independen, tidak bergantung kepada guru. Gattengno berpendapat bahwa siswa akan belajar lebih baik bila dia mengembangkan tanggungjawab personal atas pembelajarannya sendiri. Jadi, untuk banyak pelajaran, guru tetap diam [bungkam]. Belajar dipandang lebih utama daripada mengajar. Para siswa didorong untuk bekerjasama satu sama lain untuk memikirkan atau memahami makna. Para siswa diperkenalkan dengan materi baru dengan menggunakan tongkat Cuisinare (tongkat-tongkat kecil berwarna dengan ukuran panjang yang beragam) dan serangkaian peta dinding (wall chart). Setelah guru memperkenalkan materi itu, tinggal terserah para siswa untuk menentukan apa yang akan mereka pelajari dan bekerja secara independen untuk mencapai tujuan akademis mereka. Aspek-aspek tertentu dari pendekatan ini, sperti penggunaan tongkat Cuisinare (Cuisinare rod) dan pengembangan kemandirian siswa, masih tetap digunakan. Namun, penggunaan pendekatan ini sudah jarang diterapkan karena dipandang tidak praktis di ruangan kelas, siswa membutuhkan dan menginginkan masukan [input] yang lebih banyak dari guru.
b. Karakteristik
Pendekatan jenis ini digunakan agar peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran di dalam kelas. Guru lebih terkonsentrasi dalam mencermati bagaimana peserta didik berucap dan bagaimana mereka mengucapkan ekspresi- ekspresi tersebut. Guru pun berupaya agar peserta didik mampu mengucapkan berbagai macam kata dengan cara memproduksi kata yang benar, di samping itu untuk melatih spontanitas penggunaan bahasa kedua dalam situasi apapun.
Pendekatan ini nampaknya cocok sekali dalam pembelajaran speaking dan listening. Hal ini dikarenakan guru tidak diperbolehkan memberi tahu kosakata atau ekspresi yang tidak dikenal oleh peserta didik dengan menggunakan bahasa pertama, melainkan hanya menggunakan gerak tubuh (gesture) atau mimik muka.
c. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
1. Prinsip-Prinsip Dasar Silent Way
Seperti metode-metode lainnya, Gattegno menjadikan pemahamannya terhadap proses pembelajaran bahasa pertama sebagai dasar untuk membuat prinsip-prinsip mengajar bahasa asing bagi orang dewasa. Gattegno menganjurkan agar pembelajar kembali ke cara bayi belajar.
Gattegno mengusulkan artificial approach yang didasarkan pada prinsip bahwa pembelajaran yang berhasil melibatkan sebuah komitmen diri pada pemerolehan bahasa melalui kesadaran dan uji coba aktif. Penekanan Gattegno yang berulang-ulang pada lebih pentingnya pembelajaran daripada pengajaran, menempatkan komitmen dan prioritas diri pembelajar sebagai fokus. Diri yang dimaksud di sini terdiri atas dua sistem, yaitu sistem pembelajaran dan sistem pemerolehan. Sistem Pembelajaran diaktifkan oleh kesadaran intelegensi. Silence dianggap sebagai cara yang terbaik untuk pembelajaran, karena dengan silence para pembelajar berkonsentrasi pada tugas yang diselesaikan dan cara-cara potensial untuk penyelesaiannya. Silence, yang menghindari pengulangan, menjadi alat bantu bagi kesadaran, konsentrasi, dan kesiapan mental.
Sistem pemerolehan memungkinkan kita untuk mengingat unsur-unsur bahasa dan prinsip-prinsipnya, dan memungkinkan komunikasi bahasa berlangsung. Pemerolehan dengan upaya mental, kesadaran, dan kebijaksanaan lebih efisien daripada pemerolehan melalui pengulangan mekanis. Kesadaran dapat diajarkan. Ketika seseorang belajar ‘secara sadar’, kekuatan kesadaran seseorang dan kapasitasnya untuk belajar menjadi lebih besar. Karena itu, Silent Way menyatakan bahwa hal tersebut mempermudah apa yang disebut para psikolog sebagai Learning to learn. Rangkaian proses yang membangun kesadaran berasal dari perhatian, penggunaan, perbaikan diri, dan penyerapan. Kegiatan koreksi diri melalui kesadaran diri inilah yang membuat Silent Way berbeda dari metode pembelajaran bahasa yang lain. Tetapi Silent Way bukanlah semata-mata sebuah metode pengajaran bahasa. Gattegno melihat pembelajaran bahasa melalui silent way sebagai pengembalian potensi dan kekuatan diri. Tujuan Gattegno bukanlah sekedar pembelajaran bahasa kedua, melainkan pendidikan untuk kepekaan dan kekuatan spiritual individu.
Tujuan umum Silent Way adalah mengajarkan pembelajar bagaimana cara belajar bahasa, dan keterampilan-keterampilan yang dikembangkan melalui proses pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua dapat digunakan untuk mempelajari segala hal lain yang belum diketahui.
2. Strategi
a) Guru memperkenalkan bunyi atau struktur tertentu [khusus] dengan menunjuk kepada peta Cara Bungkam atau menggunakan tongkat Cuisinare untuk mendemonstrasikan suatu struktur atau poin tatabahasa.
b) Kemudian siswa memikirkan apa yang mereka pelajari dan mereproduksi bunyi atau struktur itu.
c) Diantara beberapa aktifitas atau sesi, para siswa boleh mengemukakan pertanyaan kepada guru.
d) Guru kemudian memperkenalkan bunyi atau struktur lainnya dengan cara yang sama.
e) Siswa lagi-lagi memikirkan maknanya dan mereproduksi bunyi atau struktur itu.
f) Akhirnya, para siswa idealnya mampum mengkkombinasikan bunyi-bunyi dan struktur-struktur tadi untuk menciptakan jalinan bahasa [benang-benang bahasa] yang lebih panjang.
d. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
• Siswa belajar secara independen, tidak bergantung kepada guru.
• Siswa didorong untuk bekerjasama satu sama lain untuk memikirkan atau memahami makna.
• Pembelajar berkonsentrasi pada tugas yang diselesaikan dan cara-cara potensial untuk penyelesaiannya.
2. Kekurangan
• Dipandang tidak praktis di ruangan kelas.
4. NATURAL APPROACH
a. Sejarah Perkembangan
NA dirintis pada tahun 1976 oleh seorang linguis bernama Tracy D. Terrel. Pandangannya adalah penguasaan bahasa lebih banyak bertumpu pada pemerolehan (acquisition), bukan pembelajaran (learning). NA juga bekerja sama dengan Teori Monitor yang diajukan oleh Stephen D. Krashen.
Istilah NA atau pendekatan alamiah didasarkan atas pandangan bahwa penguasaan (mastery) suatu bahasa lebih banyak bertumpu pada pemerolehan (acquisition) bahasa itu dalam konteks yang alamiah dan kurang pada pembelajaran aturan-aturan yang secara sadar dipelajari satu persatu. Karena adanya kaitannya antara pemerolehan dan pembelajaran, logislah jika perkembangan terakhir pendekatan alamiah ini bergandengan tangan dengan teori monitor yang diajukan oleh Stephen D Krashen pada tahun 1978. Kerjasama antara Terrel dan Krashen menghasilkan buku metode yang lengkap untuk metode ini, yakni sebuah buku yang berjudul The Natural Approach : Language Acquisition in The Clasroom.
Dalam NA, siswa harus didorong untuk berkomunikasi. Kompetensi komunikasi siswa tidak harus sempurna karena dalam kehidupan nyata ada hal-hal di luar bahasa yang membantunya memahami ajaran yang ia dengar. Dengan kata lain, pelajar NA kurang mulus dari segi linguistic. Krashen berpedoman bahwa hal ini wajar karena orang dewasa telah melampui keplastisan otaknya, tidak seperti anak kecil saat memperoleh bahasa ibunya.
NA menyajikan banyak kosakata dan koreksi melalui latihan atau PR. Situasi, fungsi, dan topik dikombinasikan untuk mengembangkan kemampuan dasar pelajar dalam berkomunikasi. Hanya dikatakan bahwa NA lebih baik daripada Metode Langsung.
b. Karakteristik
Dalam NA, siswa harus didorong untuk berkomunikasi. Kompetensi komunikasi siswa tidak harus sempurna karena dalam kehidupan nyata ada hal-hal di luar bahasa yang membantunya memahami ajaran yang ia dengar. Dengan kata lain, pelajar NA kurang mulus dari segi linguistic. Krashen berpedoman bahwa hal ini wajar karena orang dewasa telah melampui keplastisan otaknya, tidak seperti anak kecil saat memperoleh bahasa ibunya.
NA menyajikan banyak kosakata dan koreksi melalui latihan atau PR. Situasi, fungsi, dan topik dikombinasikan untuk mengembangkan kemampuan dasar pelajar dalam berkomunikasi. Hanya dikatakan bahwa NA lebih baik daripada Metode Langsung.
c. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Prinsip-prinsip pendekatan alamiah (NA)
1) Pada tahap awal bertindak sebagai pendengar. Oleh karena itu ia tidak diwajibkan menguasai sebuah kata dan gramatika yang diucapkan si penutur asli. Penutur asli adalah ‘msein’ yang mampu mengkreasikan segala macam wujud bahasa selama wujud itu dimungkinkan di dalam sistem bahasa yang bersangkutan.
2) Pada tahap berikutnya, pembelajar bertindak selaku pembicara. Sebagai pembicara pada mulanya si pembelajar juga tidak diharapkan menguasai apalagi secara sempurna semua bentuk gramatika , lafal yang baik, kata-kata yang tepat dan lain-lainnya.
3) Banyaknya kesalahan dan ketidaktepatan yang dilakukan oleh pembelajar pada taraf permulaan adalah hal yang wajar, sama halnya dengan anak kecil yang belajar bahasa ibunya sendiri. Anak kecil dibarengi dengan pertumbuhan biologisnya dan dirangsang oleh masukan-masukan kebahasaan yang datang dari alam sekitarnya.
4) Bahasantara (interlanguage) merupakan ragam yang pasti ada pada pembelajar yang sedang belajar bahasa kedua. Oleh karena itu, keberadaannya tidak perlu dirisaukan. Implikasi dari sikap ini adalah bahwa koreksi terhadap kesalahan pembelajar tidak dilakukan pada waktu proses belajar di kelas, melainkan di luar kelas pada waktu pelatihan-pelatihan atau pekerjaan rumah yang khusus dimaksudkan untuk itu.
5) Penekanan pada komunikasi mengharuskan pendekatan alamiah menyajikan kosakata dalam jumlah banyak. Hal ini diperlukan karena di dalam pendekatan alamiah, komprehensi dan produksi benar-benar dibedakan. Selama pembelajar belum merasa siap untuk berbicara, ia tidak diminta berbicara.
d. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
• Siswa harus didorong untuk berkomunikasi.
• NA lebih baik daripada Metode Langsung
2. Kekurangan
• Pelajar NA kurang mulus dari segi linguistic
5. TOTAL PHYSICAL RESPONSE
a. Sejarah Perkembangan
Metode ini dikembangkan oleh seorang professor psikologi di Universitas San Jose California yang bernama Prof. Dr. James J. Asher yang telah sukses dalam pengembangan metode ini pada pembelajaran bahasa asing pada anak-anak. Ia berpendapat bahwa pengucapan langsung pada anak atau siswa mengandung suatu perintah, dan selanjutnya anak atau siswa akan merespon kepada fisiknya sebelum mereka memulai untuk menghasilkan respon verbal atau ucapan.
Metode TPR ini sangat mudah dan ringan dalam segi penggunaan bahasa dan juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat menghilangkan stress pada peserta didik karena masalah-masalah yang dihadapi dalam pelajarannya terutama pada saat mempelajari bahasa asing, dan juga dapat menciptakan suasana hati yang positif pada peserta didik yang dapat memfasilitasi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi siswa dalam pelajaran tersebut. Makna atau arti dari bahasa sasaran dipelajari selama melakukan aksi.
b. Karakteristik
Menurut Richards J dalam bukunya Approaches and Methods in Language Teaching, TPR didefinisikan: “a language teaching method built around the coordination of speech and action; it attempts to teach language through physical (motor) activity”. Jadi metode TPR (Total Physical Response) merupakan suatu metode pembelajaran bahasa yang disusun pada koordinasi perintah (command), ucapan (speech) dan gerak (action); dan berusaha untuk mengajarkan bahasa melalui aktivitas fisik (motor). Sedangkan menurut Larsen dan Diane dalam Technique and Principles in Language Teaching, TPR atau disebut juga ”the comprehension approach” atau pendekatan pemahaman yaitu suatu metode pendekatan bahasa asing dengan instruksi atau perintah.
Guru atau instruktur memiliki peran aktif dan langsung dalam menerapkan metode TPR ini. Menurut Asher ”The instructor is the director of a stage play in which the students are the actors”, yang berarti bahwa guru (instruktur) adalah sutradara dalam pertunjukan cerita dan di dalamnya siswa sebagai pelaku atau pemerannya. Guru yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang memerankan dan menampilkan materi pelajaran. Siswa dalam TPR mempunyai peran utama sebagai pendengar dan pelaku. Siswa mendengarkan dengan penuh perhatian dan merespon secara fisik pada perintah yang diberikan guru baik secara individu maupun kelompok.
c. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode TPR ini banyak sekali aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa antara lain:
a.Latihan dengan menggunakan perintah (Imperative Drill ), merupakan aktivitas utama yang dilakukan guru di dalam kelas dari metode TPR. Latihan berguna untuk memperoleh gerakan fisik dan aktivitas dari siswa.
b.Dialog atau percakapan (conversational dialogue).
c.Bermain peran (Role Play), dapat dipusatkan pada aktivitas sehari-hari seperti di sekolah, restoran, pasar, dll.
d.Presentasi dengan OHP atau LCD
e.Aktivitas membaca (Reading) dan menulis (Writing) untuk menambah perbendaharaan kata (vocabularies) dan juga melatih pada susunan kalimat berdasarkan tenses dan sebagainya.
Teori pembelajaran bahasa TPR yang diterapkan pertama kali oleh Asher ini mengingatkan pada beberapa pandangan para psikolog, misalnya Arthur Jensen yang pernah mengusulkan sebuah model 7-langkah unutk mendeskripsikan perkembangan pembelajaran verbal anak. Model ini sangat mirip dengan pandangan Asher tentang penguasaan bahasa anak. Asher menyajikan 3 hipotesa pembelajaran yang berpengaruh yaitu:
1.Terdapat bio-program bawaan yang spesifik untuk pembelajaran bahasa yang menggambarkan sebuah alur yang optimal untuk pengembangan bahasa pertama dan kedua.
2.Lateralisasi otak menggambarkan fungsi pembelajaran yang berbeda pada otak kiri dan kanan.
3.Stres mempengaruhi aktivitas pembelajaran dan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, stress yang lebih rendah kapasitasnya maka pembelajaran menjadi lebih baik.
d. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
• Mudah dan ringan dalam segi penggunaan bahasa dan juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat menghilangkan stress pada peserta didik.
• Mendeskripsikan perkembangan pembelajaran verbal anak.
2. Kekurangan
• Metode pembelajaran bahasa cenderung disusun pada koordinasi perintah.








DAFTAR PUSTAKA


E. Sadtono. 1996. “Kompetensi Komunikatif: Mau ke Mana?” dalam Muljanto Sumardi (ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Henry Guntur Tarigan 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.

M.F. Baradja. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP Malang.

Muljanto Sumardi (ed). 1996. “Pendekatan Humanistik dalam Pengajaran Bahasa”. dalam Muljanto Sumardi (ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Omaggio, Alice C. 1986. Teaching Language in Context: Proficiency Oriented Instruction. Boston: Heinle & Heinle Publishers, Inc.

Soenjono Dardjowijojo. 1996. “Lima Pendekatan Mutakhir dalam Pengajaran Bahasa” dalam Muljanto Sumardi (ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pelita Sinar Harapan.

Sabtu, 11 Desember 2010

METODE-METODE PENGAJARAN BAHASA ARAB DENGAN NAZHARIYAH AL-WIHDAH (INTEGRATED SYSTEM)

1. Metode Gramatika-Terjemah (Thariqah al-Qawâ’id wa at-Tarjamah)
a. Konsep Dasar Thariqah al-Qawâ’id wa at-Tarjamah
Metode ini berdasar pada pemahaman bahwa tata bahasa merupakan bagian dan filsafat dan logika. Belajar bahasa dapat memperkuat kemampuan berpikir logis, memecahkan masalah, dan menghapal.Dengan metode ini para pelajar didorong untuk menghapal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya dalam bahasa pelajar, terutama teks-teks yang bernilai sastra tinggi.
b. Karakteristik metode al-Qawâ’id wa at-Tarjamah
Adapun karakteristik metode al-Qawâ’id wa at-Tarjamah adalah sebagal berikut:
1) Tujuan penggunaan metode al-Qawâ’id wa at-Tarjamah adalah agar menguasai keterampilan membaca, menulis dan tarjamah, menguasai qowaid sebagal syarat utama untuk menguasai tiga keterampilan tersebut.
2) Tujuan mempelajari bahasa asing adalah agar mampu membaca karya sastra dalam bahasa target (BT), atau kitab keagamaan.
3) Materi pelajaran terdiri dan: buku nahwu, kamus, dan teks bacaan.
4) Tata bahasa disajikan secara deduktif, yakni dimulai dan kaidah kernudian diikuti contoh-contoh, dan dijelaskan secara rind dan panjang lebar.
5) Kosa kata diberikan dalam bentuk kamus dwibahasa (kosa kata dan terjemahannya).
6) Teks bacaan berupa karya sastra kiasik atau kitab keagaamaan lama.
7) Basis pembelajaran adalah menghapal kaidah tatabahasa dan kosa kata, kemudian penerjemahan harfiah dan bahasa target ke bahasa pelajar dan sebaliknya.
8) Bahasa ibu pelajar digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar-mengajar.
9) Peran guru aktif sebagai penyaji materi. Peran pelajar pasif sebagai penerima.
c. Langkah-langkah Penyajian:
1) Guru memulai pelajaran dengan menjelaskan definisi butir-butir tata bahasa kemudian memberikan contoh-contohnya.
2) Guru menuntun siswa menghapalkan daftar kosa kata dan terjemahnnya, atau meminta siswa mendernonstrasikan hapalan kosa kata yang teah diajarkan sebelumnya.
3) Guru meminta siswa membuka buku teks bacaan kemudian menuntun siswa memahami isi bacaan dengan terjemahannya kata per kata atau kalimat per kalimat. Atau guru meminta siswa membaca dalam hati kemudian mencoba menejemahkannya per kata atau per kalimat; guru membetulkan terjemahan yang salah dan menerangkan segi tatabahasa (nahwu-sharaf) dan keindahan bahasanya (balâghah). Selain itu guru dapat meminta siswa untuk menganalisis tata bahasa (meng-i’râb).

2. Metode Langsung (Ath-Thariqah al-Mubâsyirah)
a. Konsep Dasar Ath-Thariqah al-Mubâsyirah
Metode ini dikembangkan atas asumsi bahwa proses belajar bahasa kedua atau bahasa asing sama dengan bahasa ibu, yaitu dengan penggunaan bahasa secara langsung dan intensif dalam komunikasi, dan dengan menyimak dan berbicara. Sedangkan membaca dan mengarang dikembangkan kemudian. Oleh karena itu pelajar harus dibiasakan berpikir dalam bahasa target, dan penggunaan bahasa ibu pelajar dihindari sama sekali.
b. Karakteristik Metode Langsung (Ath-Thariqah al-Mubâsyirah)
Karakteristik pokok metode langsung (Ath-Thariqah al-Mubâsyirah) adalah sebagai berikut:
1) Tujuan utama belajar bahasa adaah penguasaan bahasa target secara lisan agar bias dipakai berkomunikasi.
2) Materi pelajaran berupa buku tekas yang berisi daftar kosa kata dan penggunaannya dalam kalimat. Kosa kata itu umumnya kongkrit (hissi) dan ada di ingkungan siswa. Ciri buku teksnya adalah dipenuhi dengan tasmiyah (ma hädzâ...mä dzâ lika.) dan washfiyah (kitabun jadidun ....mistharatun thawilatun) serta pada umumnya bisa diperagakan.
3) Kaidah-kaidah bahasa diajarkan secara induktif, yaitu berangkat dan contoh-contoh kemudian diambil kesimpulan.
4) Kata-kata kongkrit diajarkan melalui demonstrasi, peragaan, benda langsung, dan gambar, sedangkan kata-kata abstrak melalui asosiasi, konteks, dan definisi.
5) Kemampuan komunikasi lisan dilatihkan secara cepat meIaui tanyajawab yang terencana dalam pola interaksi yang bervariasi.
6) Kemampuan berbicara dan menyimak kedua-duanya dilatihkan.
7) Guru dan pelajar sama-sama aktif. Guru berperan memberikan stimulus berupa contoh ucapan, peragaan, dan pertanyaan, sedangkan siswa hanya merespon dalam bentuk menirukan, menjawab pertanyaan, memperagakan, dan sebagainya.
8) Ketepatan pelafalan dan tata bahasa ditekankan.
9) Bahasa target digunakan sebagal bahasa pengantar secara ketat, dan penggunaan bahasa ibu pelajar sama sekali dihilangkan.
10) Kelas dibuat sebagal lingkungan bahasa target tempat siswa berlatih bahasa secara langsung.
c. Langkah-langkah Penyajian:
Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh guru dalam menggunakan metode langsung (Ath- Thariqah al-Mubâsyirah) adalah sebagai berikut:
1) Guru memulai penyajian materi secara lisan, mengucapkan satu kata dengan menunjuk bendanya atau gambar bendanya, atau gambar benda itu, memperagaakan sebuah gerakan atau mimik wajah. Pelajar menirukan berkali-kali sampal benar pelafalannya dan paham maknanya.
2) Latihan berikutnya berupa tanya-jawab dengan kata tanya: ma, hal, ayna, dan sebagainya, sesuai dengan tingkat kesulitan pelajaran, berkaitan dengan kata-kata yang telah disajikan. Model interkasi bervariasi; biasanya dimulai dengan klasikal, kemudian kelompok, dan akhirnya individual, baik guru-siswa maupun antar siswa.
3) Setelah guru yakin bahwa siswa menguasai materi yang disajikan, baik dalam pelafalan maupun pemahaman makna, siswa diminta membuka buku tekas. Guru memberikan contoh bacaan yang benar kemudian siswa diminta membaca secara bergantian.
4) Kegiatan berikutnya adalah menjawab secara lisan pertanyaan atau latihan yang ada dalam buku, dillanjutkan dengan mengerjakannya secara tertulis.
5) Bacaan umum yang sesuai dengan tingkatan siswa diberikan sebagai tambahan, misalnya berupa cerita humor, cerita yang mengandung hikmah, dan bacaan yang mengandung ungkapan-ungkapan indah. Pendek dan menariknya cerita dapat mendorong siswa menghapalnya di luar kepala.
6) Tatabahasa diberikan pada tingkat tertentu secara induktif.

3. Metode Membaca (Thariqah al-Qirâ’ah)
a. Konsep Dasar Metode Membaca (Thariqah al-Qirâ’ah)
Metode mi dikembangkan bersdasarkan asumsi bahwa pengajaran bahasa tidak bersifat multi-tujuan, dan bahwa kemampuan membaca adalah tujuan yang paling realistis ditinjau dan kebutuhan pembelajar bahasa asing.
b. Karakteristik metode Membaca (Thariqah al-Qirâ’ah)
Adapun karakteristik metode membaca (Thariqah al-Qirâ’ah) adalah sebagai berikut:
1) Tujuan utamanya adalah kemahiran membaca, yaitu agar pelajar mampu memaharni teks ilmiah untuk keperluan studi mereka.
2) Materi pelajaran berupa buku bacaan utama dengan suplemen daftar kosa kata dan pertanyaan-pertanyaan isi bacaan, buku bacaan penunjang untuk perluasan (qira’ah muwassa’ah), buku latihan mengarang terbimbing dan percakapan.
3) Basis kegiatan pembelajaran adalah memahami isi bacaan, didahului oleh pengenalan kosa kata pokok dan maknanya, kemudian mendiskusikan isi bacaan dengan bantuan guru. Pemahaman 151 bacaan melalui proses analisis, bukan dengan terjemahan.
4) Membaca diam (qira’ah shâmitah) lebih diutamakan daripada membaca keras (qira’ah jahriyyah)
5) Kaidah bahasa diterangkan seperlunya; tidak boleh berkepanjangan.
c. Langkah-langkah Penyajian Metode Membaca (Thariqah al-Qirâah)
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh guru dalam menggunakan metode membaca (Thariqah al-Qirâ’ah) adalah sebagai berikut:
1) Pelajaran dimulai dengan pemberian kosa kata dan istilah yang dianggap sulit dan penjelasan maknanya dengan definisi dan contoh dalarn kalirnat.
2) Siswa membaca teks bacaan secara diam selama kurang lebih 25 menit.
3) Diskusi mengenai isi bacaan yang dapat berupa tanya-jawab dengan menggunakan bahasa ibu pelajar.
4) Pembicaraan mengenal tatabahasa secara singkat kalau dianggap perlu.
5) Pembahasan kosa kata yang belum dibahas sebelumnya.
6) Mengejakan tugas-tugas yang ada dalam buku suplemen, yaitu menjawab pertanyaan tentang isi bacaan, latihan menulis terbimbing, dan sebagainya.
7) Bahan bacaan perluasan dipelajari di rumah dan dilaporkan hasilnya pada pertemuan berikutnya.

4. Metode Audiolingual (Ath-Thariqah as-Sam’yyah asy-Syafawiyyah)
a. Konsep Dasar Metode Audiolingual (Ath-Thariqah as-Sam’yyah asy-Syafawiyyah)
Pendekatan aural-oral didasarkan atas asumsi, antara lain bahwa bahasa itu pertama-tama adalah ujaran. Oleb karena itu pengajaran bahasa harus dimulai dengan memperdengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kata atau kalimat kemudian mengucapkannya, sebelum pelajaran membaca dan menulis.
Asumsi lain dan pendekatan ini ialah bahwa bahasa adalah kebiasaan. Suatu perilaku akan menjadi kebiasaan apabila diulang berkali-kali. Oleh Karena itu, pengajaran bahasa harus dilakukan dengan teknik pengulangan atau repetisi.
Pendekatan aural-oral juga didasarkan atas teori Tata Bahasa Struktural (TBS). Dalam teori ml, struktur tatabahasa dianggap sama dengan pola-pola kalimat. TBS berlawanan dengan Teori Bahasa Tradisional (TBT) dalam hal-hal berikut.
1) TBT menekankan kesemestaan tatabahasa sedangkan TBS menekankan fakta bahwa semua bàhasa di dunia ml tidak sama strukturnya.
2) TBT bersifat preskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah yang dikatakan baik dan benar oleh para ahli tata bahasa. Sedangkan TBS bersifat deskriptif yang berpandangan bahwa bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh penutur asli dan bukan apa yang dikatakan oleh ahli tata bahasa.
3) TBT mengkaji bahasa dan ragam formal (ragam sastra dan sejenisnya), sedangkan TBS mengkaji bahasa dan ragam informal yang digunakan oleh penutur asli dalam interaksi sehari-hari.
b. Karaktenistik Metode Audiolingual (Ath-Thariqah as-Sam‘yyah asy-Syafawiyyah)
Karakteristik pokok metode audiohingual (Ath-Thariqah as-Sam’yyah asy-Syafawiyyah) adalah sebagai berikut:
1) Tujuan pengajarannya adalah penguasaan 4 (empat) keterampilan berbahasa secara seimbang.
2) Urutan penyajiannya adalah menyimak dan berbicara, baru kemudian membaca dan menulis.
3) Model kalimat bahasa asing diberikan dalam bentuk percakapan untuk dihapalakan.
4) Penguasaan pola kahimat dilakukan dengan latihan-latihan pola (pattern-practice). Latihan atau drill mengikuti urutan:
Stimulus response reinforcement.
5) Kosa kata dibatasi secara ketat dan selalu dihubungkan dengan konteks kalimat atau ungkapan, bukan sebagal kata-kata lepas yang berdiri sendiri.
6) Pengajaran sistem bunyi secara sistematis (berstruktur) agar dapat digunakan/dipraktikkan oleh pelajar, dengan teknik demonstrasi, peniruan, komparasi, kontras, dan lain-lain.
7) Pelajaran menulis merupakan representasi dan pelajaran berbicara, dalam arti pelajaran menulis terdiri dan pola kalimat dan kosa kata yang sudah dipelajari secara lisan.
8) Penerjemahan dihindari. Pemakaian bahasa ibu apabila sangat diperlukan untuk penjelasan, diperbolehkan secara terbatas.
9) Gramatika (dalam arti ilmu) tidak diajarkan pada tahap permulaan. Apabila diperlukan pengajaran gramatika pada tahap tertentu hendaknya diajarkan secara induktif, dan secara bertahap dan yang mudah ke yang sukar.
10) Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang menunjukkan adanya perbedaan struktural antara bahasa asing yang diajarkan dan bahasa ibu pelajar. Demikian juga bentuk-bentuk kesalahan siswa yang sifatnya umum dan frekuensinya tinggi. Untuk ini diperlukan analisis kontrastif dan analisis kesalahan.
11) Kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan siswa dalam memberikan response harus sungguh-sungguh dihindarkan.
12) Penggunaan bahan rekaman, laboratorium bahasa, dan visual aids sangat penting.
c. Langkah-langkah Penyajian Metode Audiolingual (‘Ath-Thariqah as-Sam‘yyah asy-Syafawiyyah)
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh guru bahasa Arab dalam menggunakan metode Audiolingual (Ath-Thariqah as-Sam’yyah asy-Syafawiyyah) adalah:
1) Penyajian dialog atau bacaan pendek, dengan cara guru membacanya berulang kali, dan pelajar menyimak tanpa melihat teks.
2) Peniruan dan penghapalan dialog atau bacvaan pendek, dengari teknik menirukan bacaan guru kalimat per kalimat secara klasikal, sambil menghapalkan kalimat-kalimt tersebut. Teknik ml disebut mimiclymemorization (mim-mem) technique.
3) Penyajian pola-pola kalimat yang terdapat daalam dialog atau bacaan pendek, terutama yang dianggap sukar, karena terdapat struktur atau ungkapan yang berbeda dengan struktur dalam bahasa ibu pelajar. mi dilakukan dengan teknik drill.
4) Dramatisasi dialog atau baacaan pendek yang sudah dilatihkan. Para pelajar mendramatisasikan dialog yang sudah dihapalkandi depan kelas secara bergantian.
5) Pembentukan kalimat-kalimat lain yang sesual dengan pola-pola kalimat yang sudah dipelajari.

5. Pendekatan Komunikatif (AI-Madkhalal-Ittashâlly)
a. Konsep Dasar Pendekatakan Komunikatif (Al-Madkhalal-Ittashâlly)
Metode audio-lingual mendapat kritisi dan para praktisi dan para ahli linguistik. Para praktisi merasa tidak puas atas ketidak-efektifan metode mi karena belum mampu membuat pelajar bahasa lancar berkomunikasi dalam bahasa target. Sedangkan para ahli linguistik mengecam dan sisi landasan teoritisnya.
Berikut paparan perbandingan asumsi antara Pendekatan Komunikatif dan Pendekatan Aural-Oral (Audiolingual):
Pendekatan komunikatif:
1) Penggunaan bahasa bersifat kreatif.
2) Penggunaan bahasa mencakup beberapa kemampuan dalam kerangka komunikatif yang luas, sesuai dengan peran dan partisipan, situasi, dan tujuan interaksi.
3) Belajar B-2 seperti belajar B-1, berangkat dan kebutuhan dan minat pelajar.
4) Analisis kebutuhan dan minat pelajar merupakan landasan dalam pengembangan materi pelajaran.
5) Unit yang dijadikan dasar latihan selalu berupa teks atau sepenggal wacana. Kegiatan dimulai dengan pemahaman dan pengungkapan makna. Pada tahap awal, keakuratan formal tidak terlalu diharapkan.
6) Pengajar merancang berbagai peran untuk memungkinkan partisipasi pelajar dalam situasi komunikatif yang luas.
Metode Audiolingual:
1) Belajar bahasa melalui pembiasaan.
2) Penggunaan bahasa mencakup empat kemampuan dasar: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
3) Belajar B-2 seperti belajar B-1, bermula dan menyimak dan berbicara.
4) Analisis kontrastif antara B-1 dan B-2 merupakan basis pengembangan materi pelajaran.
5) Unit yang dijadikan dasar latihan selalu berupa struktur yang lengkap. Kegiatan berupa imitasi, repetisi, substitusi, dan stimulus-respons yang semuanya serba otomatis. Keakuratan sangat diutamakan.
6) Pengajar menjadi pusat dalam kelas.
b. Karakteristik Pendekatan Komunikati
Ada beberapa karakteristik pendekatan komunikatif (Al-Madkhal al-Ittashâliy) diantaranya:
1) Tujuan pembelajarannya ialah mengembangkan kompetensi pelajar berkomunikasi dengan bahasa target dalam konteks komunikatif yang sesungguhnya atau dalam situasi kehidupan yang nyata. Tujuan PK tidak ditekankan pada penguasaan gramatika atau kemampuan membuat kalimat gramatikal, tetapi pada kemampuan memproduk ujaran yang sesual dengan konteks.
2) Salah satu konsep yang yang mendasar dan PK adalah kebermaknaan dan setiap bentuk bahasa yang dipelajani dan keterkaitan bentuk, ragam, dan makna bahasa dengan situasi dan konteks berbahasa itu.
3) Dalam proses belajar-mengajar, siswa bertindak sebagal komunikator yang berperan aktif dalam aktivitas komunikatif yang sesungguhnya. Sedangkan pengajar memprakarsal dan merancang berbagai pola interaksi antar siswa, dan berperan sebagal fasilitator.
4) Aktivitas dalam kelas diwarnai secara nyata dan dominant ileh kegiatan komunikatif, bukan driil-driil manipulatif dan peniruan-peniruan tanpa makna (tadrib babghâ’iy)
5) Materi yang disajikan harus bervaniasi, tidak hanya mengandalkan buku teks, tapi lebih ditekankan pada bahan-bahan otentik (berita Koran, ikian, menu, KTP, SIM, dan sebagainya). Dan bahan-bahan otentik tersebut, pemerolehan bahasa pelajar diharapkan meliputi bentuk, makna, fungsi, dan konteks social.
6) Penggunaan bahasa ibu dalam kelas tidak dilarang sama sekali tapi diminimalkan.
7) Dalam PK, kesalahan atau kekeliruan siswa ditoleransi untuk mendorong keberanian siswa berkomunikasi.
8) Evaluasi dalam PK ditekankan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata, bukan pada penguasaan struktur bahasa atau gramatika.
c. Prinsip-prinsip Pendekatan Komunikatif
Ada beberapa prinsip yang mendasari pembelajaran dengan pendekatan komunikatif, yaitu:
1) Sedapat mungkin menggunakan teks Arab yang autentik, seperti diambil dan kisah, surat kabar Arab, bukan dan materi dialog/wacana yang sengaja dipersiapkan untuk materi pelajaran bahasa Arab sebagai bahasa Asing, karena materi pelajaran tersebut telah mengalami rekayasa hingga tidak alami lagi. Kemudian bahasa Arab difungsikan sebagai alat komunikasi antar pelajar dalam pembelajaran;
2) Siswa dilatih untuk menggunakan berbagai bentuk dan pola kalimatsedapat mungkin-dalam menggunakan suatu makna;
3) Siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan komentar, kesan atau pendapat pribadinya tentang kandungan materi pelajaran yang didengar dan dibacanya. (Pada tahap-tahap awal, kekeliruan berbahasa yang diperbuat siswa dapat ditorerir);
4) Siswa dilatih untuk memahami social budaya Arab yang melatarbelakangi ungkapan-ungkapan Arab yang dipelajarinya;
5) Guru selalu menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga siswa dengan mudah menggunakan bahasa Arab dalam situasi yang hidup, bukan sekedar menghafal mufradat dan pola-pola kalimat secara membeo;
6) Kegiatan berbahasa yang dilakukan siswa mempunyai peranan penting dalam mengembangkan komunikasi. Teknik-teknik pembelajaran yang biasa digunakan dalam rangka pengembangan komunikasi dimaksud antara lain: bermain peran, teknik problem solving, bermain bahasa. Tiga hal yang menandai suatu kegiatan berbahasa yang komunikatif, yaitu:
a) Adanya information gap (معللوماث فجوة), antara orang pertama dan orang kedua;
b) Kemampuan memilih berbagai alternatif ungkapan sesual dengan situasi dan kondisi yang ada saat itu (الاخثيا ر علي القدرة),
c) Adanya apa yang disebut sesuai dengan feedback(الرجعية الثغذية).
7) Pernana bahasa ibu perlu ditekan seminimal mungkin.
d. Langkah-langkah Penyajian pendekatana komunikatif (Al-Madkhal al-Ittashâliy)
Langkah-langkah penyajian pendekatan komunikatif (Al-Madkhal al-Ittashâliy( adalah sebagai berikut:
1) Dialog pendek disajikan dengan didahului penjelasan tentang fungsi-fungsi ungkapan dalam dialog itu dan situasi tempat dialog itu terjadi.
2) Latihan mengucapkan kalimat-kalimat pokok secara perorangan, kelompok, atau klasikal.
3) Pertanyaan diajukan tentang isi dan situasi dalam dialog itu, ditanjutkan pertanyaan serupa tetapi langsung mengenai situasi pelajar masingmasing. Di sini kegiatan komunikatif telah dimulai.
4) Kelas membahas ungkapan-ungkapan komunikatif dalam dialog.
5) Pelajar diharapkan menarik sendiri kesimpulan tentang aturan tatabahasa yang termuat dalam dialog. Guru memfasilitasi dan meluruskan apabila terjadi kesalahan dalam penyimpulan.
6) Pelajar melakukan kegiatan menafsirkan dan menyatakan suatu maksud sebagal bagian dan latihan komunikasi yang Iebih bebas dan tidak sepenuhnya berstruktur.
7) Pengajar melakukan evaluasi dengan mengambil sampel dan penampilan pelajar dalam kegiatan komunikasi bebas.
e. Tahap Pembelajaran dengan Pendekatan Komunikatif
Terdapat dua tahap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan komunikatif, yaitu:
1) Tahap awal (week version),, yaitu bertujuan memberikan bekal dan situasi kondisi agar siswa dapat menggunakan bahasa secara komunikatif. Kegiatan ml diintegrasikan ke dalam pembelajaran secara keseluruhan, dengan motto(لاسثخد امها اللغة ثعلم)
2) Tahap kedua (strong version), yakni pada intinya adalah terwujudnya pemerolehan pengetahuan bahasa (kgnitif) melalui penggunaan bahasa secara komunikatif, dengan motto لثعلمها اللغة اسثخدام) )
6. Metode Ekletik (Ath-Thariqah al-Intiqâ’iyyah)
a. Konsep dasar Metode Ekletik (Ath-Thariqah al-Intiqâ’iyyah)
Metode ini didasarkan atas asumsi bahwa:
1) Tidak ada metode yang ideal karena masing-masing mempunyal segi-segi kekuatan dan kelemahan,
2) Setiap metode mempunyal kekuatan yang biasa dimanfaatkan untuk mengefektitkan pengajaran,
3) Lahirnya metode baru harus dilihat tidak sebagal penolakan kepada metode lama, melainkan sebagai penyempurnaan,
4) Tidak ada satu metode yang cocok untuk semua tujuan, semua guru, semua siswa, dan semua program pengajaran,
5) Yang terpenting dalam pengajaran adalah memenuhi kebutuhan pelajar, bukan memenuhi kebutuhan suatu metode,
6) Setiap guru memiliki kewenangan dan kebebasan untuk memilih metode yang sesual dengan kebutuhan pelajar.
b. Langkah-Iangkah Metode Ekletik (Ath-Thariqah al-Intiqâ’iyyah)
Terdapat beberapa langkah dalam pemakalan Metode Ekletik (Ath-Thariqah al-Intiqâ’iyyah), yaitu:
1) Metode Eklektik bisa menjadi ideal jika didukung oleh penguasaan guru secara memadai terhadap berbagai macam metode.
2) Metode ini bisa jadi metode “seadanya” atau metode “semau guru”, jika pemilihannya hanya berdasarkan “selera” guru, atau atas dasar “mana yang paling enak dan paling mudah” bagi guru. Apabila ini yang terjadi, maka yang ada adalah ketidakmenentuan.

"Hakikat Hijrah".

Ditulis dalam rangka Tahun Baru Islam 1432 H

Sudahkah kita berijrah dari segala keburukan menuju kebaikan ?


Secara harfiyah, hijrah itu berarti at-turku yang artinya meninggalkan, baik meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik, namun hijrah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain pada masa sekarang ini bukanlah suatu kemestian, kecuali apabila negeri yang kita diami tidak memberikan kebebasan kepada kita untuk mengabdi kepada Allah Swt atau negeri itu sudah sangat rusak yang tingkat kemaksiatan sudah tidak terkira dan sangat sulit untuk memperbaikinya. Oleh karena itu hakikat hijrah yang sebenarnya adalah apa yang disebut dengan hijrah ma'nawiyah, yaitu hijrah dalam arti meninggalkan segala bentuk yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini Rasul Saw bersabda: "Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya" (HR. Nukhari dan Muslim).
Apabila kita sederhanakan, sekurang-kurangnya ada empat bentuk hijrah secara ma'nawi. Pertama, hijrah i'tiqadiyah, yaitu meninggalkan segala bentuk keyakinan, kepercayaan dan ikatan-ikatan yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt. Ini merupakan kemestian bagi setiap muslim sehingga sangat tidak dibenarkan. Apabila keyakinan dan kepercayaan seorang muslim masih tercampur dengan keyakinan dan kepercayaan yang tidak Islami. Namun kita amat menyayangkan, hingga kini masih begitu banyak orang yang mengaku muslim tapi kepercayaan dan keyakinannya masih bercampur dengan kepercayaan dan keyakinan yang tidak benar.
Kedua, hijrah fikriyah, yaitu meninggalkan segala bentuk pola berpikir yang tidak sesuai dengan pola berpikir yang Islami, ini berarti setiap muslim harus selalu berpikir dalam kerangka kebenaran Islam, dia tidak boleh. Memikirkan sesuatu guna melakukan hal-hal yang tidak benar. Di dalam Al-Qur'an Allah Swt sendiri memberikan rangsangan kepada kita agar berpikir dalam rangka taat kepada-Nya, misalnya saja ada firman Allah yang artinya: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab?. Maka tidakkah kamu berpikir" (QS 2:44).
Ketiga, hijrah syu'uriyah, yaitu meninggalkan segala bentuk perasaan yang cenderung kepada hal-hal yang tidak benar, bila orang sudah hijrah dari perasaan-perasaan yang tidak benar, maka jiwanya menjadi hidup sehingga jiwanya menjadi sensitif atau peka terhadap segala bentuk kemaksiatan yang membuatnya tidak akan membiarkan kemaksiatan atau kemunkaran itu terus berlangsung, dalam kaitan ini Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaklah dia merubah (mencegah) dengan tangan (kekuasaan)nya, bila tidak mapu hendaklah dia merubah (mencegah) dengan lisannya dan bila tidak mampu juga, hendaklahka dia merubah (mencegah) kemunkaran itu dengan hatinya, yang demikian itulah selemah-lemah iman" (HR. Muslim).
Keempat, hijrah sulukiyah, yaitu meninggalkan segala bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt. Ini berarti seorang muslim sangat tidak dibenarkan melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka kalau yang dilarang itu tetap dikerjakan oleh manusia, cepat atau lambat, manusia itu akan mengalami akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat, begitu juga dengan perintah Allah yang tidak dikerjakannya. Sebagai salah satu contoh, zina merupakan sesuatu yang harus dijauhi oleh manusia dan bila ada orang yang melakukannya, maka hukuman yang tegas harus diberlakukan, tapi kenyataan menunjukkan bahwa zina itu dibiarkan saja terus berlangsung, bahkan fasilitasnya disediakan sementara orang yang melakukannya tidak dihukum sebagaimana hukum yang terdapat di dalam Al-Qur'an, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya penyakit yang sangat menakutkan dan belum ditemukan apa obatnya sementara martabat manusia juga menjadi semakin rendah. Dari pembahasan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa hakikat hijrah itu sebenarnya adalah komitmen pada ketentuan-ketentuan dengan meninggalkan segala bentuk sikap dan prilaku yang tidak menunjukkan ketaatan kepada Allah Swt. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: "Apabila engkau mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah" (HR. Ahmad dan Bazzar). "Apabila engkau meninggalkan perbuatan yang keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah" (HR. Ahmad dan Bazzar).
Karena hakikat hijrah adalah melaksanakan perintah Allah dengan meninggalkan kemalasan dan kedurhakaan kepada-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan meninggalkan segala bentuk kesukaan atau kecintaan kita kepada kemaksiatan, maka hijrah itu harus kita lakukan sepanjang perjalanan hidup kita sebagai muslim, kesemua ini tentu saja menuntut kesungguhan dan perjuangan (jihad).

Karena itu iman, hijrah dan jihad merupakan kunci bagi manusia untuk meraih derajat yang tinggi dan kemenangan dalam hidup melawan musuh-musuh kebenaran, Allah berfirman yang artinya:"Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan" (QS 9:20).